Teori Pendekatan Gestalt
Frederick Perls (1893-1970) adalah
pendiri pendekatan konseling Gestalt. Frederick dilahirkan di Berlin
dan berasal dari keluarga Yahudi. Masa mudanya adalahmasa masa-masa
yang penuh dengan masalah. Dia mengganggap dirinya sebagai sumber
masalah dalam keluarganya dan dia bermasalah dengan pendidikannya.
Bahkan di kelas tujuh, Frederick sempat tinggal kelas sebanyak dua kali
dan bahkan keluar dari sekolah karena dia memiliki masalah dengan
gurunya.
Walaupun di masa mudanya Frederick
memiliki masalah dengan pendidikan, tetapi dia dapat menyelesaikan
sarjananya, dan pada tahun 1916 dia bergabung dengan angkatan darat
Jerman pada PD I.
Proses perkembangan teori Gestalt tidak
bisa dilepaskan dari sosok Laura (Lore) Posner (1905-1990). Dia adalah
isteri Frederick perls yang secara signifikan turut mengembangkan
teori Gestalt. Laura dilahirkan di Pforzheim Jerman. Awal mulanya dia
adalah seorang pianis sampai dengan umur 18 tahun. Pada awalnya, Laura
juga seorang pengikut aliran Psikoanalisa, yang kemudian pindah untuk
mendalami teori-teori Gestalt. Pada tahun 1926, Laura dan Perls
secara aktif melakukan kolaborasi untuk mengembangkan teori Gestalt,
hingga pada tahun 1930 akhirnya mereka menikah. Pada tahun 1952,
mereka mendirikan New York Institute for Gestalt Therapy.
Pandangan tentang manusia
Walaupun pada awalnya Frederick
merupakan pengikut aliran psikoanalisa, tetapi dalam perkembangannya,
teori Gestal banyak bertentangan dengan teori Sigmund Freud. Jika
Psikoanalisa memandang manusia secara mekanistik, maka Frederick
memandang manusia secara holistic. Freud memandang manusia selalu
dikuasai oleh konflik (intrapsychic conflict) awal masa anak-anak yang
ditekan, maka Frederick memandang manusia pada situasi saat ini.
Sehingga Gestalt lebih menekankan pada pada apa yang dialami oleh
konseli saat ini daripada hal-hal yang pernah dialamai oleh konseli,
dengan kata lain, Gestalt lebih memusatkan pada bagaimana konseli
berperilaku, berpikiran dan merasakan pada situasi saat ini (here and
now) sebagai usaha untuk memahami diri daripada mengapa konseli
berperilaku seperti itu.
Teori Gestalt merupakan suatu pendekatan
konseling yang didasarkan pada suatu pemikiran bahwa individu harus
dipahami pada konteks hubungan yang sedang berjalan dengan lingkungan
(ongoing relationships). Sehingga salah satu tujuan konseling yang ingin
dicapai oleh Gestalt adalah menyadarkan (awareness) konseli terhadap
apa yang sedang dialami dan bagaimana mereka menangani masalahnya.
Gestalt berkeyakinan bahwa melalui kesadaran ini maka perubahan akan
muncul secara otomatis.
Pendekatan Gestalt mengarahkan konseli
untuk secara langsung mengalami masalahnya daripada hanya sekedar
berbicara situasi yang seringkali bersifat abstrak. Dengan begitu,
konselor Gestalt akan berusaha untuk memahami secara langsung bagaimana
konseli berpikir, bagaimana konseli merasakan sesuatu dan bagaimana
konseli melakukan sesuatu, sehingga konselor akan “hadir secara penuh”
(fully present) dalam proses konseling sehingga yang pada akhirnya
memunculkan kontak yang murni (genuine contacs) antara konselor dengan
konseli.
Gestalt meyakini bahwa konseli adalah
sosok yang terus tumbuh dan memiliki kemampuan untuk berdiri di atas
dua kakinya sendiri serta mampu mengatasi masalahnya sendiri. Hal ini
membuat pendekatan Gestalt memiliki dua agenda besar dalam proses
konseling yaitu, a) menggerakkan konseli untuk berubah dari
environmental support ke self-support dan b) integrasi ulang terhadap
bagian-bagian kepribadian yang tidak dimiliki (reintegrating the
disowned parts of personality).
Agenda sebagaimana disebut di atas
berpengaruh terhadap proses konseling yang akan dilakukan oleh
konselor. Dalam proses konseling, konselor tidak memiliki agenda
khusus, konselor tidak memiliki keinginan-keinginan, memahami bagaimana
konseli berhubungan dengan lingkungan secara saling ketergantungan
(interdependence). Hal ini mengarahkan konselor untuk menekankan proses
dialog selama proses konseling. Pendekatan ini akan menciptakan kontak
yang spontan yang pada akhirnya berujung pada bagaimana konselor dan
konseli memahami proses konseling itu sendiri (moment-to-moment
experience).
Salah satu pemikiran penting dari teori Gestalt adalah memandang individu sebagai agen yang dapat melakukan regulasi diri (self-regulate). Pengontrolan diri akan muncul jika individu secara sadar memahami apa yang terjadi di sekitarnya. Proses terapi hanya akan memfasilitasi bagaimana kesadaran itu muncul dan bagaimana kesadaran tersebut berinteraksi dalam proses konseling.
Salah satu pemikiran penting dari teori Gestalt adalah memandang individu sebagai agen yang dapat melakukan regulasi diri (self-regulate). Pengontrolan diri akan muncul jika individu secara sadar memahami apa yang terjadi di sekitarnya. Proses terapi hanya akan memfasilitasi bagaimana kesadaran itu muncul dan bagaimana kesadaran tersebut berinteraksi dalam proses konseling.
Yontef (1993) menyatakan secara
eksplisit bahwa, “In Gestalt therapy there are no "shoulds." Instead
of emphasizing what should be, Gestalt therapy stresses awareness of
what is. What is, is. This contrasts with any therapist who "knows"
what the patient "should" do”.
Pola pikir di atas menunjukkan bahwa
dalam proses konseling, konseli akan berusaha mengenali siapa dirinya
dan menjadi dirinya sendiri. Sebab Gestalt yakin bahwa permasalahan
tidak akan selesai jika konseli masih menjadi orang lain. Masalah akan
selesai jika konseli secara sadar memahami siapa dirinya. Sehingga,
dalam proses konseling, konseli akan difasilitasi untuk memahami siapa
dirinya dan bukan diarahkan untuk menjadi apa.
Prinsip Teori Gestalt
Prinsip Teori Gestalt
Dalam terapi Gestalt, pengalaman
menyeluruh (pikiran, perasaan dan sensasi tubuh) dari individu menjadi
perhatian yang sangat penting. Pendekatannya lebih dipusatkan pada
kondisi di sini dan saat ini (here and now) yaitu menyadari apa yang
terjadi dari waktu ke waktu (moment by moment).
Holism keseluruhan merupakan teori Gestalt yang utama. Gestalt tidak memandang manusia bagian perbagian. Manusia tidak bisa hanya diketahui dari komponen fisiknya saja, atau dari komponen psikisnya saja. Tetapi mengenal manusia harus dilakukan secara komprehensif, yaitu dari sisi psikis dan fisiknya. Selain itu, mengenal manusia tidak didasarkan pada diri individu itu saja, tetapi terintegrasi dengan lingkungan di mana individu tersebut berada. Perls (dalam Brownell, 2003) menyatakan bahwa holism dideskripsikan sebagai suatu keseluruhan bentuk kesadaran manusia yang meliputi respon motorik, respon perasaan, respon pikiran yang dimiliki oleh organisme.
Field Theory adalah teori Gestalt yang menyatakan bahwa mengenal manusia harus dilihat pula lingkungan di mana manusia itu berada. Dengan demikian, konselor akan memberikan perhatian lebih kepada konseli terhadap interaksinya dengan lingkungan (keluarga, sekolah, masyarakat, tempat kerja). Dengan kata lain, bahwa field theory merupakan suatu metode untuk mendeskripsikan keseluruhan medan (field) yang dialami oleh konseli. pada saat ini. Hal ini lebih daripada hanya sekedar menganalisis kejadian-kejadian yang telah terjadi dalam hubungannya dengan lingkungan (Yontef, 1993).
The Figure-Formation Process dideskripsikan sebagai usaha individu untuk melakukan pengorganisasian atau memanipulasi lingkungannya dari waktu ke waktu.
Organismic Self-Regulation merupakan sebuah proses dimana seseorang berusaha dengan keras untuk menjaga keseimbangan yang secara terus menerus diganggu oleh kebutuhan-kebutuhan. Jika usaha untuk menjaga keseimbangan ini berjalan dengan baik maka mereka akann kembali ke dalam posisi utuh. Pada dasarnya manusia memiliki kekuatan yang secara alami akan mengarahkan mereka untuk melakukan proses penyeimbangan dalam dirinya. Proses penyeimbangan ini berbentuk proses asimilasi, mengakomodasi perubahan atau menolak pengaruh-pengaruh dari luar. Masalah seringkali muncul saat seseorang berusaha untuk melakukan pemutusan kontak (interruption contacts).
Saat Ini (The Now)
Holism keseluruhan merupakan teori Gestalt yang utama. Gestalt tidak memandang manusia bagian perbagian. Manusia tidak bisa hanya diketahui dari komponen fisiknya saja, atau dari komponen psikisnya saja. Tetapi mengenal manusia harus dilakukan secara komprehensif, yaitu dari sisi psikis dan fisiknya. Selain itu, mengenal manusia tidak didasarkan pada diri individu itu saja, tetapi terintegrasi dengan lingkungan di mana individu tersebut berada. Perls (dalam Brownell, 2003) menyatakan bahwa holism dideskripsikan sebagai suatu keseluruhan bentuk kesadaran manusia yang meliputi respon motorik, respon perasaan, respon pikiran yang dimiliki oleh organisme.
Field Theory adalah teori Gestalt yang menyatakan bahwa mengenal manusia harus dilihat pula lingkungan di mana manusia itu berada. Dengan demikian, konselor akan memberikan perhatian lebih kepada konseli terhadap interaksinya dengan lingkungan (keluarga, sekolah, masyarakat, tempat kerja). Dengan kata lain, bahwa field theory merupakan suatu metode untuk mendeskripsikan keseluruhan medan (field) yang dialami oleh konseli. pada saat ini. Hal ini lebih daripada hanya sekedar menganalisis kejadian-kejadian yang telah terjadi dalam hubungannya dengan lingkungan (Yontef, 1993).
The Figure-Formation Process dideskripsikan sebagai usaha individu untuk melakukan pengorganisasian atau memanipulasi lingkungannya dari waktu ke waktu.
Organismic Self-Regulation merupakan sebuah proses dimana seseorang berusaha dengan keras untuk menjaga keseimbangan yang secara terus menerus diganggu oleh kebutuhan-kebutuhan. Jika usaha untuk menjaga keseimbangan ini berjalan dengan baik maka mereka akann kembali ke dalam posisi utuh. Pada dasarnya manusia memiliki kekuatan yang secara alami akan mengarahkan mereka untuk melakukan proses penyeimbangan dalam dirinya. Proses penyeimbangan ini berbentuk proses asimilasi, mengakomodasi perubahan atau menolak pengaruh-pengaruh dari luar. Masalah seringkali muncul saat seseorang berusaha untuk melakukan pemutusan kontak (interruption contacts).
Saat Ini (The Now)
Dalam pendekatan Gestalt, situasi saat
ini merupakan hal yang sangat penting (the most significant tense).
Sehingga dalam proses konseling, konseli akan diajak untuk belajar
mengapresiasi dan mengalami secara penuh keadaan saat ini. Gestalt
tidak akan mencari tahu apa yang telah terjadi di masa lalu, tetapi
lebih pada mendorong konseli untuk membicarakan saat ini. Pemusatan
pada masa lalu akan menjadi jalan bagi konseli untuk menghindari
masalahnya. Joel dan Edwin (1992) menyatakan ”What does this mean,
"present centered"? In essence, it means that what is important is what
is actual, not what is potential or what is past, but what is here,
now”.
Untuk membantu konseli memahami keadaan
saat ini, maka konselor dapat membantu dengan memberikan kata tanya
“Apa” dan “Bagaimana”, dengan demikian, kata tanya “Mengapa” adalah
kata tanya yang sangat jarang dipergunakan (Zimberoff dan Hartman,
2003). Bahkan, seringkali konselor memotong pembicaraan konseli, jika
konseli mulai berkutat dengan masa lalunya. Konselor akan memotong
pembicaraan konseli dengan pernyataan seperti, ”Apa yang kamu rasakan
pada saat kakimu bergoyang saat bicara?’ atau ”Dapatkah kamu merasakan
tekanan suaramu? Tidakkah kamu merasa ketakutan?” Usaha konselor ini
adalah untuk mengembalikan kesadaran konseli saat ini.
Konselor Gestalt meyakini bahwa
pengalaman masa lalu, seringkali mempengaruhi keadaan konseli saat ini,
terlebih jika pengalaman masa lalu memiliki hubungan yang signifikan
dengan kejadian atau masalah yang dimiliki oleh konseli. Di lain pihak,
karena (mungkin) ketakutannya untuk menyelesaikan masalah, maka
konseli cenderun untuk secara terus menerus membicarakan masa lalunya.
Untuk mengatasi masalah ini, maka konselor dapat mengajak konseli untuk
kembali ke saat ini dengan cara “membawa fantasinya ke saat ini” dan
mencoba untuk mengajak konseli untuk melepaskan keinginannya. Sebagai
contoh, seorang anak memiliki trauma dengan perilaku ayahnya. Konselor
tidak mengajak konseli untuk membicarakan apa yang telah terjadi,
tetapi lebih mengajak konseli untuk merasakan saat ini dan berorientasi
pada pada apa yang ingin dilakukan (semisal, berbicara dengan
ayahnya).
Urusan yang Belum Selesai (Unfinished Bussines)
Urusan yang Belum Selesai (Unfinished Bussines)
Individu seringkali mengalami masalah dengan orang lain di masa lalu. Menurut Gestalt, masalah masa lalu yang belum terselesaikan atau terpecahkan disebut dengan Unfinished Bussiness yang dapat dimanifestasikan dengan munculnya kemarahan (resentment), amukan (rage), kebencian (hatred), rasa sakit (pain), cemas (anxiety), duka cita (grief), rasa bersalah (guild) dan perilaku menunda (abandonment).
Polster (dalam Corey, 2005) menyatakan
bahwa beberapa bentuk perilaku akibat unfinished bussines adalah
seseorang akan asyik dengan dirinya sendiri, memaksa orang lain untuk
menuruti kehendaknya, bentuk-bentuk perilaku yang menempatkan dirinya
sebagai orang kalah, bahkan seringkali muncul simptom-simptom penyakit
fisik.
Sebagai contoh ada seorang mahasiswa
yang menganggap bahwa semua perempuan itu tidak baik. Perilaku mahasiswa
ini cenderung untuk menjauhi perempuan. Diketahui bahwa masa lalu
mahasiswa ini mengalami perlakuan yang buruk dari ibunya sewaktu berusia
sekolah dasar (unfinished bussines). Pendekatan Gestalt tidak
berorientasi pada masa lalu atau berusaha untuk mengorek perilaku orang
tua yang menyebabkan dia berperilaku menjauhi perempuan. Sebab, jika
itu dilakukan, maka mahasiswa ini akan berusaha untuk meraih masa
lalunya yang hilang, dan dia akan berpikir menjadi anak kecil. Ini
adalah proses yang tidak produktif. Konselor Gestalt akan berusaha
untuk membantu mahasiswa ini merasakan apa yang terjadi saat ini.
Konselor akan menfasilitasi mahasiswa ini untuk menunjukkan situasi
yang terjadi saat ini. Mahasiswa dibantu untuk menyadari bahwa
perilakunya tidak produktif dan kemudian mencari perilaku-perilaku yang
lebih produktif.
Contact & Resisstance to Contact
Contact & Resisstance to Contact
Hal terpenting dalam kehidupan manusia
adalah malakukan kontak atau bertemu dengan orang lain di sekitar.
Kirchner (2008) menyatakan bahwa setiap individu memiliki kemampuan
untuk melakukan kontak secara efektif dengan orang lain, dengan
kemampuan itu, maka individu akan dapat bertahan hidup dan tumbuh
semakin matang. Semua kontak yang dilakukan oleh individu memiliki
keunikan sendiri-sendiri yang berujung pada bagaimana individu dapat
menyesuaikan dirinya dengan lingkungan.
Perls menyatakan bahwa proses kontak
dilakukan dengan cara melihat, mendengar, membau, meraba dan
pergerakan. Lebih lanjut, Gestalt Institute of Cleveland (dalam
Krichner, 2000) menunjukkan bahwa proses kontak terjadi karena tujuh
tingkatan yaitu (a) sensation, (b) awareness, (c) mobilization of
energy, (d) action, (e) contact, (f) resolution and closure, dan (7)
withdrawal.
Proses kontak individu dengan individu
lain seringkali mengalami masalah. Masalah ini seringkali muncul karena
konseli cenderung untuk menghindari kontak dengan keadaan saat ini dan
orang lain. Krichner (2000) menyatakan ada empat hal yang menjadi
masalah konseli yaitu confluence, introjection, projection, dan
retroflection
Energy & Blocks to Energy
Energy & Blocks to Energy
Pendekatan Gestalt memperhatikan energy
yang dimiliki oleh individu. Dimana teori ini berkeyakinan bahwa untuk
bisa menyelesaikan masalahnya, maka seseorang akan mengeluarkan energy.
Penutupan energy ini akan tampak pada keadaan fisik seseorang.
Seseorang yang tidak bisa mengeluarkan energinya, seringkali
ditampakkan dengan perilaku non verbal seperti, bernapas pendek-pendek,
tidak focus dengan lawan bicara, berbicara dengan suara tertahan,
perhatian yang minimal terhadap sebuah obyek, duduk dengan kaki
tertutup, posisi duduk yang cenderung menjauhi lawan bicara dan lain
sebagainya. Sebagai contoh, seseorang yang pada saat ini ingin marah,
tetapi tertahan, maka tubuhnya akan mereaksi penahaman marah (sebagai
upaya pelepasan energy) dengan bentuk-bentuk seperti napas
tersengal-sengal.
Dalam proses konseling, konselor
berusaha untuk membantu kondisi pelepasan energy yang dimiliki oleh
konseli. Pada awalnya konseli diajak untuk mengenal perasaannya saat
ini, dan kemudian membantu untuk melepaskan energi yang tertahan
tersebut.
Referensi:
Brownell, Philip. 2003. Gestalt Global’s, Gestalt Therapy Construct Library, Construct from “G” through “P”. phil@g-gej.org, diakses tanggal 31 Januari 2008.
Brownell, Philip. 2003. Gestalt Global’s, Gestalt Therapy Construct Library, Construct from “G” through “P”. phil@g-gej.org, diakses tanggal 31 Januari 2008.
Corey, Gerald. 2005. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (7th ed). Belmont: Thomson Brooks/Cole.
Cottone, Rocco. 1992. Theories and Paradigms of Counseling and Psychotherapy. Boston: Allyn and Bacon.
Higgins, Jude. 2008. What is Gestalt therapy? www.psychotherapybristol.co.uk diakses tanggal 31 Desember 2008.
Joel, Latner., Edwin, Nevis. 1992. The Theory of Gestalt Therapy. Gestalt Institute of Cleveland (GIC) Press.
Kirchner, Maria. 2000. Gestalt Therapy Theory: An Overview. www.newyorkgestalt.org, diakses tanggal 31 Desember 2008.
Wikipedia. 2008. Gestalt Therapy. http://en.wikipedia.org/wiki/Gestalt_ therapy, diakses tanggal 31 Desember 2008.
Yontef, Gary. 1993. Gestalt Therapy: An Introduction. www.gjpstore.com, diakses tanggal 31 Desember 2008.
Zimberoff, Dianne., Hartman, David.
2003. Gestalt Therapy and Heart-Centered Therapies. Journal of
Heart-Centered Therapies, 2003, Vol. 6, No. 1, pp. 93-104
Sumber : http://konselingindonesia.com
Categories:
C. Dasar dan Teori Psikologi Bimbingan Konseling